Oleh : Akhmad Sahal
Pengurus Cabang Istimewa NU (PCINU) Amerika
Konstitusi RI membolehkan warganya untuk menjabat sebagai pemimpin
pemerintahan, apapun agamanya. Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 berbunyi:
Setiap warga negara berhak punya kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.” Namun sebagian kalangan Islam mengharamkan pemimpin non
muslim, dengan mengacu Al-Qur’an. Terutama Al Ma’idah 51, Ali Imran 28,
dan An Nisa’ 144. Apakah ini berarti konstitusi RI membolehkan sesuatu
yang diharamkan Al-Qur’an?
Ayat-ayat tersebut intinya melarang
menjadikan non-muslim sebagai auliya. Pangkal masalahnya terletak pada
terjemahan kata auliya. Terjemahan Al-Qur’an Departemen Agama
mengartikannya sebagai “pemimpin.” Tapi apakah terjemahan ini akurat?
Bandingkan dengan terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris, yang
ternyata tak satupun mengartikan auliya sebagai pemimpin, melainkan
teman dekat, sekutu, atau penolong. Yusuf Ali dalam The Meaning of the
Holy Qur’an menerjemahkan auliya’ dengan friends and protectors. Dalam
The Message of the Qur’an Yusuf Ali, dan The Qur’an M.A.S Abdel Haleem,
terjemahannya allies. Dalam The Glorious Qur’an Marmaduke Pickthal dan
The Koran N.J. Dawood, friends. Sedangkan dalam The Qur’an T.B. Irving,
sponsors.
Pertanyaannya, apakah ayat-ayat di atas adalah
tentang larangan memilih pemimpin non muslim , atau larangan menjalin
aliansi dengan non-muslim? Mari tengok asbabun nuzul-nya, yakni situasi
dan peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat-ayat tersebut. Ini karena
ayat Qur’an umumnya hadir sebagai respon Ilahi terhadap kejadian yang
dialami Nabi dan Sahabat. Sehingga untuk mengetahui makna persis suatu
kata atau ungkapan dalam suatu ayat, asbabun nuzul yang merupakan
konteks pewahyuannya tak bisa diabaikan.
Konteksnya Peperangan
Dalam Tafsir Al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, para ulama
tafsir berbeda pendapat tentang asbabun nuzul QS 5;51. Satu riwayat
menuturkan, turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Perang Uhud. Dalam
situasi kekalahan, ada prajurit muslim yang bermaksud meminta
perlindungan kepada kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu turunlah larangan
menjadikan Nasrani dan Yahudi sebagai auliya.
Menurut riwayat
lain, ayat tersebut turun saat Perang Khandaq, ketika Nabi dan kaum
muslim dikepung kaum kafir Quraisy. Sahabat Nabi bernama ‘Ubadah bin
Shamit yang punya kedekatan dengan kaum Yahudi menawarkan bantuan
tentara dari sekutunya kepada Nabi. Abdullah bin Ubay bin Salul juga
menawarkan hal yang sama. Maka turunlah teguran dari Tuhan untuk tidak
beraliansi dengan Yahudi dan Nasrani. Dan kemudian terbukti kabilah
Yahudi Bani Quraidzah bersekongkol dengan kafir Quraisy memerangi umat
islam. Tetapi ‘Abdullah bin Ubay tetap mempertahankan aliansinya dengan
kaum Yahudi, sambil seakan-akan tetap setia pada Nabi. Loyalitas mendua
seperti ditunjukkan Abdulah bin Ubay ini dikecam keras oleh Al-Qur’an
sebagai munafiqun (QS: 142- 144).
Bagaimana dengan QS 3: 28?
Muhammad Abduh menegaskan, ayat ini turun menjelang penaklukan kota
Mekah. Sahabat bernama Hathib bin Abi Balta’ah yang mempunyai menjalin
korespondensi dengan kerabatnya di Mekah, memberitahu mereka tentang
rencana ekspedisi tentara muslim ke Mekah, agar mereka mengamankan diri
dan menjaga harta Hathib. Tapi korespondensi ini dipergoki oleh sejumlah
sahabat dan dilaporkan ke Nabi. Lalu turunlah ayat ini.
Yang
dimaksud dengan menjadikan non muslim sebagai auliya adalah meminta
pertolongan atau menjalin pertemanan yang begitu dekatnya dengan mereka
sehingga sampai pada tingkat saling menceritakan rahasia masing-masing.
Di ayat lain , auliya disebut bithanah, yang berkonotasi “orang
kepercayaan” yang mengetahui kondisi internal sekutunya. Dalam situasi
perang, hal itu tentu saja bisa membahayakan kaum muslim sendiri, karena
dengan begitu, pihak musuh jadi tahu tentang kekuatan dan kondisi
internal mereka. Karena itu wajar kalau dilarang.
Namun dalam
situasi damai, larangan tersebut dengan sendirinya tidak berlaku. Ini
ditegaskan Rasyid Ridha yang menyatakan, ayat-ayat larangan menjalin
persekutuan dengan non muslim tidaklah berlaku mutlak, melainkan
situasional: konteks peperangan. Ada tiga alasan. Pertama, Nabi sendiri
pernah beraliansi dengan kabilah musyrik yang tidak memerangi umat
Islam, yakni kabilah Khuza’ah. Kedua, yang dilarang adalah aliansi yang
berdampak negatif terhadap umat Islam yang mengarah pada terabaikannya
Islam, merugikan umat, dan menceredai kepentingan mereka (khidzlan li
dinik, idza’un li ahlih, idha’atun li mashalihihim ) Ketiga, QS 60: 8
membolehkan “berbuat baik dan berlaku adil” terhadap pemeluk agama lain
yang tidak memerangi dan mengusir dari tanah kelahiran umat
Islam.(Tafsir Al Manar, V., 278-279).
Bisa kita simpulkan,
terjemahan kata auliya yang lebih konsisten dengan asbabun nuzul QS 5:
51, 3: 28 dan 4: 144 bukanlah “pemimpin,” melainkan “sekutu, teman
dekat, penolong.” Ayat-ayat tersebut bukanlah tentang larangan
mengangkat pemimpin dari non muslim, melainkan larangan menjalin aliansi
dengan mereka dalam konteks peperangan. Dalam situasi damai, aliansi
antara muslim dan non muslim dibolehkan.
Ada juga sih yang tetap
ngotot untuk mengharamkan memilih pemimpin non-muslim dengan bersandar
pada ayat di atas. Logikanya: kalo menjalin aliansi dengan nonmuslim
saja dilarang, apalagi menjadikannya sebagai pemimpin.
Jawaban
saya: ayat2 tersebut tidaklah berlaku mutlak melainkan situasional.
Kalaupun kata "auliya" dimaknai sebagai pemimpin, larangan menjadikan
non-muslim sebagai pemimpin pun hanya berlaku dalam konteks peperangan,
manakala kaum non muslim nyata-nyata memerangi umat Islam. Ayat-ayat
perang semacam ini tak bisa diterapkan begitu saja dalam konteks
perdamaian. Menerapkan ayat2 peperangan untuk konteks perdamaian
(seperti di Indonesia saat ini) jelas sebuah kerancuan cara bepikir yang
fatal. Di sinilah pentingnya mengetahui asbabun nuzul dan rujukan
kitab2 tafsir untuk bisa memahami suatu ayat. Tak
Atas dasar itu, Kemenag sepertinya perlu merevisi terjemahan kata auliya pada ayat-ayat tersebut, dengan mempertimbangka
n
asbabun nuzulnya. Terjemahan yang tidak akurat terbukti menimbulkan
salah pengertian yang meluas di kalangan sebagian muslim, seakan
konstitusi RI yang membolehkan pemimpin non muslim bertentangan dengan
Al-Qur’an. Padahal sejatinya antara keduanya tak ada pertentangan sama
sekali.
Eksekutif, Bukan Khalifah
Bahkan kalaupun
ayat-ayat di atas dimaknai sebagai pelarangan terhadap pemimpin non
muslim, penerapannya untuk konteks Indonesia juga bermasalah.
Fikih politik klasik memang menyatakan pemimpin harus muslim. Tapi harap
diingat, pemimpin di sini adalah khalifah, yang oleh Al-Mawardi dalam
Al Ahkam Al-Sulthaniyah digambarkan sebagai pengganti kepemimpinan Nabi
dalam hal hirasatut din wa siyasatut dunya, menjaga agama dan mengatur
urusan dunia. Dengan kata lain, pemimpin yang mengemban tugas keislaman
yang strategis, misalnya menjadi mujtahid yeng menggali hukum Islam
dari Qur’an dan Sunnah, serta memimpin jihad.
Pemimpin dalam
demokrasi modern bukanlah pengganti peran Nabi, dan sama sekali tak
mengemban tugas keislaman strategis. Ia tak lebih sebagai administrator
yang bertugas mengelola urusan publik. Dalam demokrasi, pemimpin
hanyalah eksekutif atau pelaksana mandat dari rakyat sebagai pemegang
kedaualatan tertinggi. Tidak seperti khalifah yang memegang kedaulatan
tertinggi, pemimpin demokrasi dikontrol oleh parlemen, dan kebijakannya
harus tunduk pada konstitusi. Kekuasaannya tidak tak terbatas.
Singkatnya, pemimpin yang kita pilih dalam demokrasi bukanlah khalifah,
melainkan eksekutif yeng mengelola urusan rakyat, semacam “petugas”
rakyat. Menerapkan kriteria-kriter
ia khalifah, seperti keharusan beragama Islam, untuk pemimpin semacam ini jelas salah alamat.
Yang harus diingat, prinsip utama dalam Islam menyangkut politik,
termasuk kepemimpinan, berporos pada kemaslahatan publik atau
kepentingan rakyat. Jadi asalkan tercipta pemerintahan yang bersih,
amanah, bebas korupsi, dan terbangun tatanan sosial yang egaliter dan
berkeadilan sosial, itu sesuai dengan Islam. Pemimpinnya, yakni pemegang
kuasa eksekutifnya, bisa muslim, atau non muslim.
Versi lebih pendek tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 25/ 4/ 2016
Sumber :
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10157613012380045&id=859770044&refid=28&_ft_=qid.6332476692002476502%3Amf_story_key.2443064400166948483&__tn__=%2As
(Jujur saya ingin mempost tentang ini dikarenakan benar benar "gerah" dengan sekelompok orang,massa atau apapun itu yang sedang mencanangkan gerakan 'jangan pilih pemimpin non muslim' dan sejenisnya. Semoga dengan postingan kali ini,saya berharap bisa membuka sudut pandang para pembaca sekalian yang setidaknya bisa mengubah pemikiran tentang hal tersebut)